Saturday, June 21, 2014

Ketergantungan Kepiting Bakau pada Ekosistem Mangrove

Kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya dari perairan hutan mangrove ke laut untuk memijah. Sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap berada di perairan hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya.

Setelah memijah, kepiting bakau betina akan kembali ke hutan mangrove, demikian pula dengan dengan juvenil kepiting bakau yang akan bermigrasi ke hulu estuaria untuk kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove (Siahainenia 2008).

Ekosistem mangrove merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untuk berlindung. Kepiting muda yang berasal dari laut, banyak dijumpai di sekitar estuari dan hutan mangrove karena terbawa arus laut dan pasang sehingga akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung (Hutching & Saenger 1987 dalam Siahainenia 2008). Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap hutan mangrove dan sering dijumpai membenamkan diri dalam substrat lumpur atau menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian (Queensland Departement of Industries 1989 dalam Siahainenia 2008). Banyak penelitian menunjukkan bahwa komunitas mangrove memainkan peranan penting bagi berbagai jenis biota yang hidup pada, atau di sekitar ekosistem tersebut. Nontji (1987), mengatakan bahwa beberapa produk perikanan yang bernilai ekonomi penting, mempunyai hubungan yang erat dengan ekosistem mangrove seperti udang (Penaeus), kepiting bakau (Scylla) dan Tiram (Crassostrea).

Setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri atau bersembunyi di lubang hingga karapaksnya mengeras. Hutching & Saenger (1987) dalam Siahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di perairan sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Sementara Hill (1982) dalam Siahainenia (2008) menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia.

Friday, June 13, 2014

Sistem Neurosecretory Tangkai Mata Kepiting Bakau

Sistem neurosecretory pada kepiting dibentuk oleh X-organ, yaitu sekumpulan sel neurosecretory yang berasosiasi dengan tiap ganglion pada optic ganglia, saluran sinus gland dan sinus gland (Carlisle & Passano 1953 dalam Siahainenia 2008). Sel neurosecretory memiliki chromatin bergranula kasar dan pada kepiting biru (Callinectes sapidus), sitoplasma dari sel-sel neurosecretory adalah basophilic atau neutrophilic. Sel-sel ini memiliki sebuah inti (nukleus) pucat yang sangat besar dengan satu atau beberapa anak inti (nukleolus). Kumpulan sel neurosecretory yang berasosiasi dengan medulla externa disebut X-organ medulla externa, kumpulan sel neurosecretory yang berasosiasi dengan medulla interna disebut X-organ medulla interna, kumpulan sel neurosecretory yang berasosiasi dengan medulla terminalis disebut X-organ medulla terminalis, sedangkan kumpulan sel neurosecretory yang berasosiasi pada bagian antara medulla interna dan medulla terminalis serta berada pada lokasi yang kurang lebih berhadapan dengan sinus gland disebut X-organ sensory pore.

Neurosecretory memiliki dua tipe sel yaitu tipe B dan tipe C yang dapat dibedakan melalui karakter secretory. Dikatakan juga bahwa kedua tipe sel ini menghasilkan produksi hormon yang berbeda (Li et al. 1999). Serabut neuron (axon) dari X-organ mengalir menuju ke sinus gland. Serabut neuron akhir dari sel-sel neurosecretory yang mengarah ke dalam sinus gland umumnya tebal dan bertekstur kasar, serta acidophilic dan periodic acid-schiff (PAS) positif. Sinus gland adalah organ neurohemal yang menyimpan dan mendistribusikan produk yang dihasilkan oleh sel-sel neurosecretory ke dalam sirkulasi umum. Sinus gland juga merupakan tempat pertemuan berbagai neurofibra neurosecretory dengan vas sinusoidea yang membentuk organ neurochemal.

Terdapat perbedaan struktur sel neurosecretory tangkai mata pada masing-masing kelompok crustacea. Pada Lysmata seticaudata, X-organ terletak pada medulla terminalis; pada Palaemon serratus, terdapat dua buah X-organ, yang masing-masing terletak pada medulla externa dan medulla terminalis; sedangkan pada Gecarcinus lateralis terdapat dua buah X-organ, masing-masing terdapat pada medulla interna (Siahainenia 2008). Welsh (1961), menambahkan bahwa X-organ pada kelompok Brachyura terletak pada bagian dorsolateral tangkai mata, medulla externa, dan medulla interna. Sedangkan pada kelompok Natantia, organ-X terletak pada bagian distal medulla terminalis.

X-organ menghasilkan beberapa hormon, diantaranya ovarium inhibiting hormone dan testis inhibiting hormone, atau yang disebut gonado inhibiting hormone (GIH), yang berfungsi secara langsung untuk menghambat perkembangan kelenjar androgen pada individu jantan, dan ovarium pada betina, sehingga spermatozoa atau ovum akan terhambat perkembangannya. X-organ juga menghambat aktivitas Y-organ, yang terletak pada bagian kepala (cephalothorax), untuk menghasilkan gonado stimulating hormone (GSH), yang bekerja merangsang pembentukan spermatozoa pada jantan atau ovum pada betina (Johnson 1980 dalam Siahainenia 2008).

Thursday, June 5, 2014

Serangan Epifit dan Korelasinya Terhadap Penyakit Ice-ice pada Rumput Laut

Rumput laut merupakan salah satu komoditi perikanan yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat, diantaranya Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii) (Fibrianto 2007) karena mudah dibudidayakan dengan infestasi yang relatif kecil dan mempunyai prospek pasar yang baik serta dapat meningkatkan ekonomi masyarakat pantai [Dirjenkanbud 2005]. Usaha budidaya rumput laut berpotensi meningkatkan taraf hidup nelayan, tetapi pada musim tertentu budidaya rumput laut mengalami masa yang kurang menguntungkan karena serangan penyakit (Sulu 2003).

Permasalahan utama pada budidaya komersial adalah penyakit yang dikenal sebagai "ice-ice" yang menyebabkan pemutihan jaringan dan fragmentasi talus (Loureiro 2010) serta "serangan epifit" (ganggang merah berfilamen) (Varaippan 2006). Ice-ice merupakan penyakit yang banyak menyerang tanaman rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1974 di Pilipina (Dirjenkanbud 1995). Penyakit ice-ice menginfeksi jaringan K. alvarezii selama stres. Biasanya jaringan akan mengalami bleaching dan menjadi nekrosis (Sulu 2003), dengan daya rusak relatif cepat sehingga sangat merugikan bagi pembudidaya, bahkan dapat menyebabkan kebangkrutan usaha (Yulianto 2003). Serangan epifit bukan fenomena baru dalam budidaya rumput laut. Hal ini berlangsung sejak pemeliharaan rumput laut dilakukan dalam skala budidaya. Namun, sedikit yang diketahui dari agen penyebab, modus aksi dan faktor yang menyebabkan wabah (Varaippan 2006).

Awalnya, penyakit ice-ice dianggap sebagai penyakit tidak menular yang bisa dipicu oleh kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti suhu yang ekstrim, radiasi, salinitas, bakteri patogen oportunistik, Vibrio sp. dan Cytophaga sp. Penyakit ice-ice mengarah pada penurunan yang signifikan dalam produksi rumput laut dan penurunan hasil karagenan. Jika dibandingkan dengan tanaman yang sehat berkisar 25 – 40%. Ice-ice juga menyebabkan penurunan terhadap kualitas karagenan, viskositas dan kekuatan gel pada talus yang terinfeksi (Tisera 2009). Di sisi lain, epifit adalah ganggang non parasit berbulu kecil yang menempel pada tanaman inang. Epifit yang tumbuh pada rumput akan menghambat sinar matahari sehingga menggangu proses fotosintesis. Serangan epifit juga berkorelasi dengan kejadian penyakit ice-ice, dimana bagian talus rumput laut yang terserang oleh epifit menjadi rentan terserang bakteri yang menyebabkan terjadinya penyakit ice-ice (Varaippan 2008).

Untuk lebih rincinya berikut ini akan diuraikan mengenai etiologi, anatomi makro dan anatomi mikro pada rumput laut yang terifeksi oleh penyakit ice-ice serta serangan epifit, sehingga dapat menjadi referensi dalam penelitian yang berkaitan dengan penyakit pada rumput laut khususnya jenis Kappaphycus alvarezii.

Etiologi
Penyakit ice-ice pertama kali ditemukan tahun 1974 pada tahap awal budidaya Kappaphycus alvarezii skala ekonomi di Filipina (Largo 1995a). Pemicunya dididuga faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti salinitas serta stres (Largo 1995b). Terjadinya penyakit ice-ice bersifat musiman dan berkorelasi dengan perubahan angin monsun serta tingginya populasi bakteri yang ditemukan pada jaringan rumput laut yang terinfeksi ice-ice (Neish 2003). Largo (1995a,b) menunjukkan bahwa faktor abiotik (intensitas cahaya kurang dari 50 mikromol photon m2s, salinitas dibawah 20 ppt, dan suhu diatas 35oC, serta bakteri tertentu mampu menginduksi terjadinya ice-ice pada K. alvarezii yang dibudidayakan di perairan subtropis sebelah selatan Jepang.

Kasus ice-ice pada budidaya rumput laut dipicu oleh fluktuasi parameter kualitas air yang ekstrim (kadar garam, suhu air, bahan organik terlarut dan intensitas cahaya matahari). Pemicu lain adalah serangan hama seperti ikan baronang, penyu hijau, bulu babi dan bintang laut yang menyebabkan luka pada talus, sehingga mudah terinfeksi oleh mikroorganisme. Pada keadaan stress, rumput laut akan membebaskan substansi organik yang menyebabkan talus berlendir dan merangsang bakteri tumbuh melimpah di sekitarnya. Pertumbuhan bakteri pada talus akan menyebabkan bagian talus menjadi putih dan rapuh. Selanjutnya, mudah patah, dan jaringan menjadi lunak yang menjadi ciri penyakit ice-ice. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara vertikal (dari bibit) atau horizontal melalui perantaraan air [KKP 2010].

Epiphytic filamentous algae/alga epifit berfilamen (EFA) tercatat sebagai masalah serius sejak awal budidaya K. alvarezii (Varaippan 2006). Vairappan (2008) melaporkan bahwa pecahnya EFA berkorelasi dengan perubahan drastis suhu air laut dan salinitas dari Maret sampai Juni dan September hingga November. Selain fluktuasi suhu dan salinitas, faktor fisik lain seperti level nutrien dan fotoperiod juga berperan penting dalam kelimpahan epifit di suatu areal (Varaippan 2006).

Anatomi Makro
·         Gejala klinis
Penyakit ice-ice ditandai dengan timbulnya bintik atau bercak-bercak merah pada bagian talus yang lama kelamaan menjadi pucat dan berangsur-angsur menjadi putih dan akhirnya talus tersebut terputus. Gejala yang terlihat adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang menjadi putih, kemudian cabang talus menjadi putih dan membusuk [KKP 2005].

Serangan epifit pada K. alvarezii ditandai dengan munculnya bintik-bintik hitam kecil pada permukaan sel kutikula, kemudian menjadi epifit vegetatif  yang terasa kasar bila disentuh. Serangan epifit menyebab rumput laut menjadi rentan terhadap kerusakan talus dan serangan bakteri (Varaippan 2006).

·         Diagnose
Diagnosa penyakit pada rumput laut dapat dilakukan secara visual dan mikrobiologis [KKP 2010]. Untuk mendiagnosa penyakit rumput laut, lebih didasarkan pada pengalaman pribadi atau studi pustaka mengenai pertumbuhan dan faktor-faktor biotik yang mempengaruhi perkembangan rumput laut. Diagnosis visual terbatas karena gejala yang sama mungkin timbul dari agen yang berbeda, sebaliknya agen yang sama (terutama jika abiotik) dapat menyebabkan gejala yang berbeda terhadap alga yang berbeda (Largo 2002).

Hasil penelitian di Pulau Pari oleh Darmayanti (2001) yang mengisolasi bakteri dari rumput laut K. Alvarezii yang sehat maupun yang terinfeksi ice-ice mendapatkan jenis Aeromonas sp. dan Proteus sp. (golongan Vibrio). Largo (1995a) mendapatkan 10 strain bakteri, namun yang mengindikasikan penyebab penyakit ice-ice hanya 2 strain yaitu Cytophaga sp. P25 (kelompok ­Cytophaga-Flavobacterium) dan Vibrio sp. P11 (kelompok Vibrio-Aeromonas), dengan kepadatan bakteri 10 – 100 kali lebih banyak dibanding kepadatan bakteri pada K. alvarezii yang sehat.

Sedangkan hasil penelitian Varaippan (2006) menemukan epifit berupa algae merah jenis Neosiphonia savatieri (Hariot), sebagai epifit yang dominan menginfeksi rumput laut K. alvarezii (80-85%). Selain dari jenis N. savatieri, juga ditemukan epifit dari jenis Neosiphonia apiculata, Ceramium sp., Acanthophora sp. dan Centroceras sp. Largo (2002) menyebutkan jenis Polysiphonia dan diatom juga berperan sebagai epifit pada K. alvarezii.

·         Mekanisme infeksi
Mekanisme terinfeksinya rumput laut oleh bakteri penyebab penyakit ice-ice dijelaskan oleh Largo (1999), dimana bakteri vibrio menempel pada talus rumput laut yang stress, selanjutnya berkembang biak pada dinding sel dengan memanfaatkan polisakarida (karagenan) sebagai media atau sumber karbonnya. Setelah 2 – 3 hari, vibrio masuk ke dalam jaringan sampai lapisan medual dengan cara menghidrolisa enzim karagenan yang mengakibatkan warna talus menjadi pucat/putih, jaringannya lembek serta talus mudah putus (Weinberger 2007).

Epifit menyerang rumput laut dengan cara melekatkan diri pada basal menggunakan rhizoid primer atau rhizoid sekunder. Hasil penelitian Varaippan (2006) menunjukkan bahwa epifit jenis N. savatieri melekat menggunakan rhizoid yang mempunyai 2-4 cabang. Cabang horisontal yang melebihi 8-10 mm terlihat melekat pada rumput laut pada daerah yang berbeda melalui rhizoid sekunder. Epifit tersebut menyebabkan lesi ringan atau retak pada titik di mana epifit menginfeksi rumput laut.

Anatomi Mikro
Studi histologis yang dilakukan pada jaringan rumput laut ditemukan bahwa rhizoid dari epifit mampu untuk menembus ke dalam lapisan sel korteks rumput laut.

Untuk rumput laut yang terserang ice-ice, pendekatan dilakukan dengan menguji rumput laut jenis Gracilaria gracilis yang terserang penyakit (bleaching) dimana ciri-cirinya serupa dengan yang kejadian ice-ice pada K. alvarezii. Pada rumput laut G.gracilis ini dilakukan uji dengan menyuntikkan SSW (sterile seawater) sebagai kontrol, P. gracilis B9 yang diisolasi dari permukaan G. gracilis dan AagA untuk membuktikan bahwa penyakit rontok akibat bleaching pada G. gracilis disebabkan oleh infeksi bakteri. Hasilnya menunjukkan bahwa sampel rumput laut yang disuntikkan dengan P. gracilis B9 dan AagA terjadi gangguan fibriliar komponen dari dinding sel dan mengalami bleaching. Selain itu pengujian dengan menggunakan P. gracilis B9 pada kondisi lingkungan tertentu juga menyebabkan adanya bleaching.

SIMPULAN
Penyakit pada rumput laut Kappaphycus alvarezii baik yang disebabkan oleh bakteri (penyakit ice-ice) maupun yang disebabkan oleh serangan epifit, seluruhnya dipengaruhi oleh perubahan lingkungan (salinitas dan suhu) serta nutrien. Kedua penyakit tersebut saling berkorelasi, dimana serangan epifit ikut berperan dalam terjadinya penyakit ice-ice. Selain itu serangan kedua jenis penyakit tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan pada talus rumput laut K. alvarezii.

Sistem Endokrin dan Produksi Hormon pada Larva Ikan

Sistem endokrin dan susunan saraf merupakan alat utama dimana tubuh mengkomunikasikan antara berbagai jaringan dan sel. Sistem saraf berfungsi sebagai pembawa pesan melalui sistem struktural yang tetap. Sistem endokrin merupakan tempat berbagai macam hormon disekresikan oleh kelenjar spesifik yang diangkut sebagai pesan bergerak untuk bereaksi pada sel atau organ tertentu. Hormon merupakan zat kimia organik yang dibentuk dalam sel atau kelenjar yang sehat dan normal, disekresikan langsung ke dalam darah dan dibawa ke sel atau organ target, yang jumlahnya sangat kecil tetapi pengaruhnya besar, berperan dalam integrasi dan koordinasi fungsi tubuh.

Tiga fase yang terlibat dalam perkembangan fungsi endokrin yaitu:
Ø  Fase embrio, selama organ endokrin berkembang, tetapi bukan organ fungsional dan hormon yang diproduksi secara lokal.
Ø  Fase transisi, ketika organ endokrin larva mulai berfungsi tetapi kadar hormon tetap sangat rendah.
Ø Tahap transformasi, ketika percepatan aktivitas organ-organ endokrin yang disertai dengan fluktuasi besar dalam meningkatnya hormon.

Pada fase  embrio, hormon-hormon yang dihasilkan dari sel pituitary bekerja dalam mengontrol perkembangan embrio (selama perkembangan janin). Di dalam oosit ikan, dijumpai pula hormone (pada ikan salmonidae, Oncorynchus sp), terutama tiroksin dan T3 (triiodotironin). Hormon ini berasal dari tubuh induk betina yang disekresikan ke dalam darah dan diserap oleh oosit yang sedang tumbuh bersamaan dengan vitolegenin karena vitolegenin mempunyai daya ikat yang kuat terhadap hormone tiroksin di dalam plasma (M’Boy 2011). Tiroksin dan T3 kuning telur mengalami perubahan selama perkembangan awal sehingga kedua hormone ini dibutuhkan pada saat embrio dan memiliki fungsi fisiologis.

Hormon yang dianggap sangat penting untuk mengatur perkembangan dan pertumbuhan larva ikan adalah hormon tiroid, kortisol, GH, IGF I, IGF II dan PRL (prolaktin).

Ø  Hormon tiroid penting untuk pertumbuhan terutama pada masa embrio, metabolisme dan fungsi saraf otonom. Mengatur termostatis internal, keseimbangan metabolisme energi, peningkatan jumlah mitokondria dan meningkatkan produksi enzim-enzim rantai pernapasan serta meningkatkan aktivitas Na+/K+/ATP-ase.

Ø Hormon tiroid (tiroksin), berperan penting dalam pertumbuhan, metamorphosis dan reproduksi. Secara spesifik tiroksin menambah produksi energi dan konsumsi oksigen pada jaringan yang normal, mempunyai pengaruh anabolik dan katabolik terhadap protein, meningkatkan proses oksidasi tubuh, dan mempercepat laju penyerapan monosakarida.  Dua jenis hormone tiroid yang berperan penting adalah tetra iodothyronine (T4) dan triodothyronine (T3) (M’Boy 2011). Hormon ini memainkan peran penting dalam pengaturan perkembangan endokrin larva ikan. THS juga terlibat dalam metamorfosis ikan dari larva ke tahap remaja/juvenil. T3 meningkatkan konsumsi dan produksi panas, menstimulasi Na+/K+ ATP-ase dari semua sel jaringan yang aktif secara metabolik.

Ø Hormon prolaktin, berfungsi dalam mengontrol proses osmoregulasi (Upaya ikan untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkungannya). Prolaktin merupakan hormon yang serbaguna dengan fungsi yang berbeda-beda dalam kelas-kelas vertebrata (Boyle-Feysot et al. 1998). Dalam air tawar dan euryhaline teleosts, termasuk beberapa flatfishes, fungsi utama prolaktin adalah mengatur osmoregulasi (McCormick 2001; Wada et al. 2004). Fungsi lain dari PRL adalah sebagai pengatur pertumbuhan, pengembangan, metabolisme stimulasi kelenjar endokrin, perilaku, reproduksi dan fungsi kekebalan tubuh (Boyle-Feysot et al. 1998; Forsyth dan Wallis 2002).

Ø  Hormon somatotropin (STH), merupakan hormone pertumbuhan (hormone polipeptida) yang dilepaskan dari adenohipofisa untuk menstimulasi hati agar mensintesis somatomedin yang bertugas secara langsung dalam pertumbuhan, baik pertumbuhan tulang, otot maupun sel-sel yang lain. Sebagai hormone pertumbuhan, kerja somatotropin dipermudah oleh hormone pankreas, korteks adrenal dan tiroid yang bekerja bersama-sama dalam memacu metabolism lemak dan karbohidrat.

Ø   Hormon pertumbuhan (GH) : Polipeptida, 191 asam amino
Ø   IGF- I       : Polipeptida, 70 asam amino

GH dan IGF- I berfungsi merangsang pertumbuhan seluruh jaringan tubuh (jumlah sel = hyperplasia dan ukuran sel = hipertropi)