Insulin bekerja pada hati untuk meningkatkan pengambilan glukosa dan pembentukan
glukosa 6 fosfat serta untuk mengaktifkan enzim glikogen sintetase. Pada
jaringan adipose, glukosa diubah menjadi gliserol dan gliserol ini akan
diesterefikasi dengan asam lemak bebas membentuk trigliserida. Sintetis lemak
meningkat melalui peningkatan perangsangan sitrat lipase, asetil ko-A, karboksilase,
asam lemak sintase dan gliserol 3 phosfat dehidrogenase. Pada otot, insulin
merangsang pengambilan glukosa dan asam amino dan merangsang sintesis glikogen
dan protein. Insulin juga mempunyai efek vasodilatori untuk meningkatkan aliran
darah dan suplai nutrient ke otot.
Asam-asam amino bebas yang dibawa darah akan mengalami metabolisme pada dua arah
yaitu anabolik dan katabolik. Arah anabolik adalah biosintesis protein-protein
baru baik yang fungsional seperti hormone dan enzim maupun yang structural
seperti pembentukan jaringan tubuh baru (pertumbuhan), dan penggantian jaringan
yang rusak. Arah katabolik diawali dengan deaminasi molekul-molekul asam
amino yang kemudian digunakan untuk menghasilkan energi atau lipogenesis (M’Boy 2014). Pada ikan, sebagaimana pada mamalia, sintesis protein (khususnya pada
otot) dan translokasi asam-asam amino dari hati ke otot dikontrol oleh insulin.
Peran insulin pada ikan terutama pada metabolisme protein dan lemak,
keterlibatan insulin dalam homoestasis glukosa mungkin hanya peran sekunder
(Jobling 1994). Peningkatan asam amino dalam plasma setelah pemberian pakan
akan merangsang sekresi insulin. Insulin yang disekresikan ini kemudian akan meningkatkan deposisi asam amino dalam
sel dan penggabungannya ke dalam protein otot.
Glukosa hasil pencernaan karbohidrat diserap ke dalam aliran darah, dan
selanjutnya akan digunakan untuk metabolisme. Metabolisme glukosa
sangat dikontrol oleh hormon. Pada hewan-hewan endotermik, homeostatis glukosa
darah dikontrol sangat baik. Homeostasis ini terutama dikontrol oleh insulin
dan glukagon yang disekresikan oleh pankreas. Hormon-hormon tersebut juga
terdapat pada ikan, tetapi homoestasi glukosa darah belum jelas. Insulin dan somatostatin menyebabkan
penurunan kadar glukosa darah (hipoglikemia). Glukosa ini akan digunakan secara
cepat pada jaringan atau diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam hati. Jika
insulin kurang, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemia) dan metabolisme
glukosa terganggu. Keadaan ini menyebabkan kondisi diabetik. Pada kondisi
seperti ini glikogenesis dan lipogenesis juga akan terhambat. Kebutuhan energi
akan disediakan melalui peningkatan glukoneogenesis dari lemak dan protein.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui respon pemberian
glukosa, hormon insulin dan
proses hiperglikemia pada beberapa ikan diantaranya ikan channel catfish
(Wilson and Poe 1987; Ottolenghi et al.
1995), tilapia (Wright et al.
1998), chinook salmon (Mazur et al.
1992), rainbow trout (Harmon et al.
1991; Sol Novoa et al. 2004),
mas, red seabream, dan yellowtail (Furuichi dan Yone, 1981). Penggunaan
beberapa gula sederhana serta dekstrin pada level 1670 mg/kg ikan dalam pakan
pada channel catfish mengakibatkan proses hiperglikemia setelah 6 jam pemberian
pakan. Kondisi hiperglikemia juga ditemukan pada
penambahan fruktosa, maltosa, sukrosa, dan dekstrin pada level yang sama
(Wilson & Poe 1987).
Pemberian glukosa terhadap ikan nila melalui penyuntikan di perut (intra
peritoneal) pada dosis 2000 mg/kg tubuh ikan menyebabkan kenaikan gula darah
sampai jam ke-6 setelah penyuntikan. Kondisi ini bahkan terus berlanjut sampai
lebih dari 6 jam pasca penyuntikan (Wright et al. 1998). Pemberian gula sederhana dalam pakan ikan chinnok
salmon pada tingkat 1670 mg/kg pakan mengakibatkan hiperglikemia sampai lebih
dari 36 jam dengan peningkatan insulin sampai 2 kali lipat dibandingkan pada
saat kondisi normal (Mazur et al.
1992). Penggunaan pakan dengan kadar karbohidrat yang tinggi pada ikan rainbow
trout mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah setelah 6-9 jam setelah
pemberian pakan (M’Boy 2014). Kadar insulin dalam darah sudah meningkat sejak 3
jam (24-27 ng/ml) setelah pemberian pakan dan terus menurun hingga 24 jam
(12-17 ng/ml) setelah pemberian pakan. Peningkatan dan penurunan kadar insulin
diikuti juga oleh peningkatan dan penurunan kadar glukagon dalam darah sehingga
didapatkan kondisi normoglikemia dalam tubuh ikan (Novoa et al. 2004).
Namun ada hal menarik yang diperoleh Novoa et al. (2004) dimana pemberian level karbohidrat yang berbeda
dalam pakan tidak mempengaruhi jumlah insulin yang dihasilkan. Pemberian karbohidrat dalam pakan (65-118 mg/g) tidak menghasilkan
peningkatan insulin secara proporsional. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi
perbedaan toleransi glukosa pada beberapa jenis ikan. Perbedaan toleransi
glukosa pada jenis ikan sangat dipengaruhi oleh tingginya sensitivitas dari
somatostatin pada ikan dibandingkan pada mamalia sehingga menghambat sekresi
insulin dan rendahnya respon sel B pada ikan terhadap perubahan glukosa dalam
darah (Mazur et al. 1992).
Penyebab lainnya adalah ketiadaan efek inkretin (proses stimulasi insulin
terhadap keberadan glukosa pada waktu singkat) pada ikan seperti glucagon-like
peptide (GLP) yang menghambat sekresi insulin pada ikan (Mojsov 2000).
Insulin, seperti
hormon lainnya hanya berfungsi sebagai regulator dalam proses fisiologi dan
biokimia dengan mengirimkan sinyal ke sel target. Insulin berikatan kuat dengan
bagian reseptor sangat spesifik pada membran plasma jaringan dimana insulin
bekerja. Insulin dapat melakukan sebagian besar fungsinya tanpa betul-betul
masuk sel. Setelah insulin terikat pada reseptornya, dengan proteolisis membran
glikoprotein menyebabkan pembebasan zat antara oligoglikopeptida kecil (berat
molekul 1000-1500). Zat ini selanjutnya dilepaskan ke dalam sel dimana zat
antara ini mengaktifkan defosforilasi protein
Berdasarkan mekanisme yang sudah diketahui sampai saat ini berarti insulin
(dan juga glukagon) memiliki mekanisme yang kompleks dalam tubuh ikan. Bukan
hanya melakukan regulasi terhadap glukosa tetapi juga terhadap asam-asam lemak
dan asam-asam amino. Hasil penelitian yang dilakukan Navarro et al. (2002) menunjukkan bahwa
insulin ternyata lebih sensitif terhadap perubahan asam amino dibandingkan
kadar glukosa dalam darah. Sel beta dari ikan-ikan salmonids merespon
peningkatan kadar arginin dengan dosis 0,03-6 melalui peritoneal μmol/g mengakibatkan kenaikan kadar insulin 3-9 kali lipat dibandingkan pada
kondisi normal, pada ikan mas penggunaan arginin meningkatkan kadar insulin 1,5
kali lipat, pada red sea bream 2 kali lipat. Namun sampai sekarang, aksi
arginin terhadap sekresi insulin masih belum jelas apakah aksi secara langsung
ataukah tidak langsung. Hal ini disebabkan pemberian arginin juga menyebabkan
sekresi glukagon-like peptide (GLP), somatostatin, dan hormon pertumbuhan (GH).
Insulin memiliki peran terhadap metabolisme lemak walaupun secara tidak
langsung. Hasil penelitian Albalat et
al. (2005) menunjukkan bahwa insulin memiliki peran secara tidak
langsung pada metabolisme asam lemak. Insulin memberikan efek antilipolitik dan
anabolik asam lemak. Pada ikan yang mengalami kondisi insulin dalam darah
rendah maka meningkatkan aktivitas lipolitik di hati. Pada rainbow trout
peningkatan konsentrasi hormon insulin dalam darah mengakibatkan penurunan
mobilisasi lemak dan meningkatkan ”obesitas”. Albalat et al. (2005) lebih lanjut menyatakan bahwa belum ada model yang
tepat yang mampu menjelaskan peran hormon dalam regulasi penyimpanan dan
katabolisme lemak pada ikan.