Monday, July 21, 2014

Mengenal Ikan Kerapu




Ikan kerapu termasuk dalam famili Serranidae, subfamili Epinephelinae dan dikenal dengan istilah “grouper” (Heemstra & Randall 1993; Tucker 1999). Ikan kerapu terdiri dari 15 genus dan mencakup 159 spesies. Kelima belas genus ikan kerapu tersebut adalah Aethalperca, Alphestes, Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes, Dermatolepis, Epinephelus, Gonioplectrus, Gracila, Mycteroperca, Paranthias, Plectropomus, Saloptia, Triso dan Variola (Heemstra & Randall 1993). Sedangkan menurut Tucker (1999), ikan kerapu terdiri dari 14 genus dan mencakup setidaknya setengah dari 449 spesies famili Serranidae.

Ikan kerapu dapat diidentifikasi berdasarkan pola pewarnaannya, ciri morfologis termasuk bentuk tubuh, konfigurasi dan ukuran sirip, bentuk dan ukuran relatif dari kepala dan beberapa bagian kepala dan tubuh, serta jumlah jari-jari sirip, gurat sisik dan gill raker. Kecuali untuk beberapa jenis ikan kerapu dewasa dengan ukuran besar, pola pewarnaan kebanyakan ikan kerapu biasanya cukup untuk membedakan spesies tertentu. Ikan kerapu yang hidup di perairan dalam biasanya memiliki pola pewarnaan yang lebih kemerahan dibanding spesies yang tertangkap di perairan dangkal (Heemstra dan Randall 1993).


Gambar 1. Klasifikasi ikan kerapu




Ikan kerapu sangat berkaitan dengan dasar perairan dan ditemukan pada seluruh perairan tropis dan subtropis yang hangat. Kebanyakan ditemukan pada perairan berkarang, namun beberapa spesies dapat ditemukan di daerah estuaria atau karang berbatu (Heemstra & Randall 1993; Sluka et al. 2001; Tucker 1999). Secara umum, ikan kerapu sangat terkait dengan dasar perairan yang keras (berbatu), kendati juvenil ikan ini ditemukan pada area padang lamun dan yang dewasa dari beberapa spesies lebih menyukai areal berpasir. Beberapa spesies dapat ditemukan pada kedalaman 100 hingga 200 m (terkadang ditemukan pada kedalaman 500 m), namun kebanyakan hidup pada kedalaman kurang dari 100 m dan juvenil sering ditemukan pada perairan yang sangat dangkal. Ikan kerapu hidup secara soliter dan menetap pada karang tertentu dalam waktu yang lama (Heemstra & Randall 1993). Menurut Kuiter (1996), ikan kerapu dewasa biasanya dapat ditemukan pada lereng-lereng karang yang memiliki celah atau gua-gua yang besar. Ikan kerapu biasanya hidup soliter atau dalam kelompok yang kecil (Yearsley et al. 1999).

Juvenil dan ikan kerapu dewasa hidup di perairan pesisir dan estuaria, tapi sebagian lebih menyukai perairan yang jernih di areal terumbu karang. Telurnya tunggal, non-adhesive dan mengapung pada salinitas normal. Larva dari beberapa spesies menghabiskan beberapa minggu pertamanya sebagai plankton oseanik. Ketika menjadi juvenil, ikan kerapu menetap di perairan dangkal untuk mencari tempat berlindung. Pada saat ukurannya bertambah panjang, ikan kerapu bergerak ke perairan yang lebih dalam namun kebanyakan tetap tinggal di wilayah dekat gua tempat berlindungnya (Tucker 1999).

Sebagai predator utama di ekosistem terumbu karang, kebanyakan ikan kerapu memakan sejumlah jenis ikan, crustacea yang besar dan chepalopoda (Heemstra & Randall 1993). Menurut Tucker (1999), larva kerapu di alam awalnya memakan copepoda dan zooplankton kecil, kemudian memakan crustacea yang lebih besar seperti amphipoda dan udang mysid. Selanjutnya, makanan utama juvenil ikan kerapu adalah ikan, kepiting, udang-udangan, lobster dan moluska. Heemstra & Randall (1993) menyatakan bahwa sebagian besar ikan kerapu adalah ambush predator (predator dengan menjebak mangsanya), yang bersembunyi di antara karang dan bebatuan hingga ikan atau crustacea yang tidak waspada melintas, kemudian menangkap mangsanya tersebut dengan cepat dan menggigit mangsanya dengan gigi yang tajam.

Kebanyakan spesies ikan kerapu hermaprodit protogini, dimana setiap individu mencapai usia dewasa secara sexual pertama kali dengan kelamin betina dan beberapa kemudian berubah menjadi jantan (Heemstra dan Randall 1993; Tucker 1999). Beberapa spesies mengalami perubahan sex dari betina ke jantan dengan semakin bertambahnya umur, namun sebagian lagi mengalami perubahan sex akibat kekurangan individu jantan (Tucker 1999). Ikan kerapu memiliki umur yang panjang dan terlambat dalam mencapai usia dewasa secara seksual pertama kali (Heemstra dan Randall 1993).

Monday, July 14, 2014

Aplikasi Hormon L-thyroxine ( T4 ) dalam Pakan Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Ikan

Pengaruh pemberian hormon L-thyroxine (T4) secara oral terhadap penampakan pertumbuhan, komposisi tubuh dan beberapa aspek fisiologi nutrisi telah diselidiki pada dua jenis ikan dengan pertumbuhan yang lambat tetapi mereka mampu mengambil oksigen langsung dari udara (Channa punctatus dan Heteropneustes fossilis) dalam kondisi laboratorium pada suhu 25oC dan pencahayaan 12:12 (Garg 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan yang memakan pakan dengan kandungan dosis T4 yang rendah (sampai dengan 50 mg/kg pada C. punctatus dan sampai dengan 100 mg/kg pada H. fossilis pertumbuhannya lebih tinggi (dalam hal pertumbuhan bobot dan panjang tubuh, laju pertumbuhan spesifik, persentase pertumbuhan bobot tubuh dan faktor kondisi) (M’Boy 2014), konversi pakan yang rendah, retensi nutrient yang tinggi, kecernaan protein yang tinggi dan aktivitas enzim yang tinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lain. Selain itu didapatkan bahwa nilai-nilai viscera-somatic index (VSI) dan hepato-somatic-index (HIS) juga lebih tinggi pada ikan yang memakan pakan dengan tingkat T4 yang rendah.

Pada penelitian ini terlihat bahwa glikogen hati menurun dengan makin meningkatnya dosis T4, yang mengindikasikan adanya pemanfaatannya selama pertumbuhan. Hasil pengamatan terhadap ekskresi metabolisme (N-NH4 dan PO4-) menunjukkan bahwa tingkatnya rendah pada air dalam akuarium dimana ikan memakan pakan dengan dosis T4 yang rendah. Lebih lanjut penelitian ini memperlihatkan bahwa ikan-ikan yang memakan pakan dengan tingkat T4 tinggi (di atas 50 mg pada C. punctatus dan di atas 100 mg pada H. fossilis) tidak hanya menurunkan pertumbuhan dan retensi nutrient, tetapi juga mempengaruhi komposisi karkas dengan menurunnya akumulasi protein (otot dan protein karkas) dan asimilasi energi. Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan T4 pada pakan mempunyai manfaat yang berguna dalam budidaya spesies ikan yang secara alami memiliki pertumbuhan yang lambat.

Roustaian dan Gaik (2006) melakukan penelitian tentang pengaruh perendaman thyroxin (T4) terhadap kelangsungan hidup larva, pertumbuhan dan produksi post-larva udang galah Macrobrachium rosenbergii de (Man). Dosis T4 yang diterapkan adalah 0.01, 0.10, 1.00, 2.00 mg/L dan kontrol (tanpa perendaman). Hasilnya menunjukkan bahwa perlakuan perendaman larva dalam larutan T4 meningkatkan pertumbuhan, kelangsungan hidup dan produksi post-larva tetapi tidak mempercepat metamorfosis awal untuk memperpendek periode pemeliharaan larva M. roenbergii. Menurunnya metamorfosis awal pada aplikasi T4 eksogen yang diamati pada penelitian ini mungkin telah dihasilkan dari tahapan sejarah hidup, dosis, atau lamanya aplikasi hormon. Dapat juga diduga bahwa T4 eksogen tidak berpengaruh pada metamorfosis M. rosenbergii.

Penyelidikan tentang pengaruh penambahan pakan dengan Synechocytis sp. PCC6803 (alga transgenik) yang mengandung gen growth hormon (GH) Paralichtys olivaceus terhadap pertumbuhan, konsumsi pakan dan rasio efisiensi pakan, komposisi otot, haematologi dan histologi dari turbot (Scopthalmus maximus L) telah dilakukan oleh Liu et al. (2007). Pada akhir penelitian selama 40 hari pemberian pakan uji, laju pertumbuhan spesifik ikan yang memakan pakan dengan 1.0% Synechocytis sp. PCC6803 transgenik 21.67% (M’Boy 2014) lebih tinggi dari pada ikan yang memakan pakan kontrol. Walaupun bobot tubuh dan rasio efisiensi pakan meningkat secara nyata pada ikan yang memakan pakan yang ditambahkan alga transgenik, namun konsumsi pakan dan faktor kondisi tidak dipengaruhi. Selain itu didapatkan bahwa analisis komposisi otot menunjukkan bahwa kandungan protein dipengaruhi secara positif oleh alga transgenik, sedangkan kandungan lipid tidak dipengaruhi.

Parameter haematologi, termasuk sel darah merah, hemoglobin dan indeks biokimia serum seperti aktivitas enzim alanine aminotransferase, aspartat aminotransferase, alkalin phosphatase, laktat dehidrogenase, konsentrasi protein total, glukosa, nitrogen urea darah, kreatinin, trigliserida dan kolesterol dan tingkat ion-ion K, Na, Cl, P tidak dipengaruhi oleh penambahan alga transgenik. Selain itu tidak ada perubahan histopatologi yang dipengaruhi oleh pengujian alga transgenik pada lambung, usus, hati, limpa dan ginjal. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa Synechocytis sp. PCC6803 transgenik yang mengandung gen GH P. olivaceus adalah peningkatan pertumbuhan yang efisien dan bahan tambahan pakan yang aman bagi ikan.

Penelitian tentang pengaruh pemberian growth hormon dari bovine terhadap pertumbuhan, level IGF-I plasma, konsumsi pakan, efisiensi pakan dan komposisi tubuh ikan channel catfish telah dilakukan oleh Silverstein et al. (2000). Pemberian hormon dilakukan pada dua strain ikan channel catfish (USDA-103 dan Norris) pada dua kondisi suhu yang berbeda (26.08oC dan 21.78oC) dengan metode penyuntikan yang dilakukan sekali dalam seminggu dengan dosis 2.5 mg recombinant bovine growth hormon (rbGH) per gram bobot tubuh, dan injeksi saline (M’Boy 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan, level insulin-like growth factor I plasma (IGF-I), konsumsi pakan dan pertambahan bobot tubuh ikan yang disuntikkan dengan rbGH lebih tinggi dari pada penyuntikan dengan saline pada kontrol. Strain dan suhu juga berpengaruh nyata, dimana konsumsi pakan lebih besar dengan penyuntikan growth hormon, suhu tinggi dan pada ikan strain USDA-103. Efisiensi pakan yang didapatkan pada percobaan ini juga lebih baik pada ikan dengan penyuntikan rbGH. Pengaruh suhu terhadap efisiensi pakan juga nyata, perlakuan suhu yang tinggi menunjukkan penampakan yang lebih baik.