PENDAHULUAN
Rumput laut merupakan salah satu komoditi
perikanan yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat, diantaranya Eucheuma
cottonii (Kappaphycus alvarezii) (Fibrianto 2007) karena mudah
dibudidayakan dengan infestasi yang relatif kecil dan mempunyai prospek pasar
yang baik serta dapat meningkatkan ekonomi masyarakat pantai (Dirjenkanbud
2005). Usaha budidaya rumput laut berpotensi meningkatkan taraf hidup nelayan,
tetapi pada musim tertentu budidaya rumput laut mengalami masa yang kurang
menguntungkan karena serangan penyakit (Sulu 2003).
Permasalahan utama pada budidaya komersial
adalah penyakit yang dikenal sebagai "ice-ice" yang
menyebabkan pemutihan jaringan dan fragmentasi talus (Loureiro 2010) serta "serangan
epifit" (ganggang merah berfilamen) (Varaippan 2006). Ice-ice
merupakan penyakit yang banyak menyerang tanaman rumput laut jenis Kappaphycus
alvarezii. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1974 di Philipina
(Dirjenkanbud 1995). Penyakit ice-ice menginfeksi jaringan K. alvarezii selama
stres. Biasanya jaringan akan mengalami bleaching dan
menjadi nekrosis (Sulu 2003), dengan daya rusak relatif cepat sehingga sangat
merugikan bagi pembudidaya, bahkan dapat menyebabkan kebangkrutan usaha
(Yulianto 2003). Serangan epifit bukan fenomena baru dalam budidaya
rumput laut. Hal ini berlangsung sejak pemeliharaan rumput laut dilakukan dalam
skala budidaya. Namun, sedikit yang diketahui dari agen penyebab, modus aksi
dan faktor yang menyebabkan wabah (Varaippan 2006).
Awalnya, penyakit ice-ice dianggap sebagai
penyakit tidak menular yang bisa dipicu oleh kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan seperti suhu yang ekstrim, radiasi, salinitas, bakteri patogen
oportunistik, Vibrio
sp. dan Cytophaga
sp. Penyakit ice-ice mengarah pada penurunan yang signifikan dalam produksi
rumput laut dan penurunan hasil karagenan. Jika dibandingkan dengan tanaman
yang sehat berkisar 25 – 40%. Ice-ice juga menyebabkan penurunan terhadap
kualitas karagenan, viskositas dan kekuatan gel pada talus yang terinfeksi
(Tisera 2009).
Di sisi lain, epifit adalah ganggang non parasit berbulu kecil yang menempel
pada tanaman inang. Epifit yang tumbuh pada rumput akan menghambat sinar
matahari sehingga menggangu proses fotosintesis. Serangan epifit juga
berkorelasi dengan kejadian penyakit ice-ice, dimana bagian talus rumput laut
yang terserang oleh epifit menjadi rentan terserang bakteri yang menyebabkan
terjadinya penyakit ice-ice (Varaippan 2008).
Untuk
lebih rincinya berikut ini akan diuraikan mengenai etiologi, anatomi makro dan
anatomi mikro pada rumput laut yang terifeksi oleh penyakit ice-ice serta
serangan epifit, sehingga dapat menjadi referensi dalam penelitian yang
berkaitan dengan penyakit pada rumput laut khususnya jenis Kappaphycus alvarezii.
PEMBAHASAN
1. Etiologi
Penyakit
ice-ice pertama kali ditemukan tahun 1974 pada tahap awal budidaya Kappaphycus alvarezii
skala ekonomi di Filipina (Largo 1995a). Pemicunya diduga faktor
lingkungan yang kurang menguntungkan seperti salinitas serta stres (Largo 1995b).
Terjadinya penyakit ice-ice bersifat musiman dan berkorelasi dengan perubahan
angin monsun serta tingginya populasi bakteri yang ditemukan pada jaringan
rumput laut yang terinfeksi ice-ice (Neish 2003). Largo (1995a,b)
menunjukkan bahwa faktor abiotik (intensitas cahaya kurang dari 50 mikromol
photon m2s, salinitas dibawah 20 ppt, dan suhu diatas 35oC,
serta bakteri tertentu mampu menginduksi terjadinya ice-ice pada K. alvarezii yang
dibudidayakan di perairan subtropis sebelah selatan Jepang.
Kasus
ice-ice pada budidaya rumput laut dipicu oleh fluktuasi parameter kualitas air
yang ekstrim (kadar garam, suhu air, bahan organik terlarut dan intensitas
cahaya matahari). Pemicu lain adalah serangan hama seperti ikan baronang, penyu
hijau, bulu babi dan bintang laut yang menyebabkan luka pada talus, sehingga
mudah terinfeksi oleh mikroorganisme. Pada keadaan stress, rumput laut akan
membebaskan substansi organik yang menyebabkan talus berlendir dan merangsang
bakteri tumbuh melimpah di sekitarnya. Pertumbuhan bakteri pada talus akan
menyebabkan bagian talus menjadi putih dan rapuh. Selanjutnya, mudah patah, dan
jaringan menjadi lunak yang menjadi ciri penyakit ice-ice. Penyebaran penyakit
ini dapat terjadi secara vertikal (dari bibit) atau horizontal melalui
perantaraan air [KKP 2010].
Epiphytic
filamentous algae/alga epifit berfilamen (EFA) tercatat sebagai
masalah serius sejak awal budidaya K. alvarezii
(Varaippan 2006). Vairappan (2008) melaporkan bahwa pecahnya EFA berkorelasi
dengan perubahan drastis suhu air laut dan salinitas dari Maret sampai Juni dan
September hingga November. Selain fluktuasi suhu dan salinitas, faktor fisik
lain seperti level nutrien dan fotoperiod juga berperan penting dalam
kelimpahan epifit di suatu areal (Varaippan 2006).
2. Anatomi Makro
2.1 Gejala klinis
Penyakit
ice-ice ditandai dengan timbulnya bintik atau bercak-bercak merah pada bagian talus
yang lama kelamaan menjadi pucat dan berangsur-angsur menjadi putih dan
akhirnya talus tersebut terputus. Gejala yang terlihat adalah pertumbuhan yang
lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang
menjadi putih, kemudian cabang talus menjadi putih dan membusuk [KKP 2005].
Serangan
epifit pada K.
alvarezii ditandai dengan munculnya bintik-bintik hitam kecil pada
permukaan sel kutikula, kemudian menjadi epifit vegetatif yang terasa
kasar bila disentuh. Serangan epifit menyebab rumput laut menjadi rentan
terhadap kerusakan talus dan serangan bakteri (Varaippan 2006).
2.2 Diagnose
Diagnosa penyakit pada rumput laut dapat dilakukan secara visual dan
mikrobiologis [KKP 2010]. Untuk mendiagnosa penyakit rumput laut, lebih
didasarkan pada pengalaman pribadi atau studi pustaka mengenai pertumbuhan dan
faktor-faktor biotik yang mempengaruhi perkembangan rumput laut. Diagnosis
visual terbatas karena gejala yang sama mungkin timbul dari agen yang berbeda,
sebaliknya agen yang sama (terutama jika abiotik) dapat menyebabkan gejala yang
berbeda terhadap alga yang berbeda (Largo 2002).
Hasil
penelitian di pulau Pari oleh Darmayanti (2001) yang mengisolasi bakteri dari
rumput laut K. alvarezii yang sehat maupun yang terinfeksi ice-ice mendapatkan jenis
Aeromonas sp. dan Proteus
sp. (golongan Vibrio). Largo (1995a) mendapatkan 10 strain
bakteri, namun yang mengindikasikan penyebab penyakit ice-ice hanya 2 strain
yaitu Cytophaga sp.
P25 (kelompok Cytophaga-Flavobacterium)
dan Vibrio sp.
P11 (kelompok Vibrio-Aeromonas),
dengan kepadatan bakteri 10 – 100 kali lebih banyak dibanding kepadatan bakteri
pada K. alvarezii
yang sehat.
Sedangkan hasil penelitian Varaippan (2006)
menemukan epifit berupa algae merah jenis Neosiphonia savatieri
(Hariot), sebagai epifit yang dominan menginfeksi rumput laut K. alvarezii
(80-85%). Selain dari jenis N. savatieri,
juga ditemukan epifit dari jenis Neosiphonia apiculata,
Ceramium sp., Acanthophora sp.
dan Centroceras
sp. Largo (2002) menyebutkan jenis Polysiphonia dan diatom juga berperan
sebagai epifit pada K.
alvarezii.
2.3 Mekanisme infeksi
Mekanisme terinfeksinya rumput laut oleh bakteri penyebab penyakit ice-ice
dijelaskan oleh Largo (1999), dimana bakteri vibrio menempel pada talus rumput
laut yang stress, selanjutnya berkembang biak pada dinding sel dengan
memanfaatkan polisakarida (karagenan) sebagai media atau sumber karbonnya.
Setelah 2 – 3 hari, vibrio masuk ke dalam jaringan sampai lapisan medual dengan
cara menghidrolisa enzim karagenan yang mengakibatkan warna talus menjadi
pucat/putih, jaringannya lembek serta talus mudah putus (Weinberger 2007).
Epifit
menyerang rumput laut dengan cara melekatkan diri pada basal menggunakan
rhizoid primer atau rhizoid sekunder. Hasil penelitian Varaippan (2006)
menunjukkan bahwa epifit jenis N. savatieri
melekat menggunakan rhizoid yang mempunyai 2-4 cabang. Cabang horisontal yang
melebihi 8-10 mm terlihat melekat pada rumput laut pada daerah yang berbeda
melalui rhizoid sekunder. Epifit tersebut menyebabkan lesi ringan atau retak
pada titik di mana epifit menginfeksi rumput laut.
3. Anatomi Mikro
Studi histologis yang dilakukan pada jaringan rumput laut ditemukan bahwa
rhizoid dari epifit mampu untuk menembus ke dalam lapisan sel korteks rumput
laut.
Untuk rumput
laut yang terserang ice-ice, pendekatan dilakukan dengan menguji rumput laut
jenis Gracilaria
gracilis yang terserang penyakit (bleaching) dimana ciri-cirinya
serupa dengan yang kejadian ice-ice pada K. alvarezii.
Pada rumput laut G. gracilis
ini dilakukan uji dengan menyuntikkan SSW (sterile seawater) sebagai kontrol, P. gracilis B9
yang diisolasi dari permukaan G. gracilis dan
AagA untuk membuktikan bahwa penyakit rontok akibat bleaching pada G. gracilis
disebabkan oleh infeksi bakteri. Hasilnya menunjukkan bahwa sampel rumput laut
yang disuntikkan dengan P. gracilis B9
dan AagA terjadi gangguan fibriliar komponen dari dinding sel dan mengalami
bleaching. Selain itu pengujian dengan menggunakan P. gracilis B9
pada kondisi lingkungan tertentu juga menyebabkan adanya bleaching.
KESIMPULAN
Penyakit pada
rumput laut Kappaphycus
alvarezii baik yang disebabkan oleh bakteri (penyakit ice-ice) maupun yang
disebabkan oleh serangan epifit, seluruhnya dipengaruhi oleh perubahan
lingkungan (salinitas dan suhu) serta nutrien. Kedua penyakit tersebut saling
berkorelasi, dimana serangan epifit ikut berperan dalam terjadinya penyakit
ice-ice. Selain itu serangan kedua jenis penyakit tersebut menyebabkan
terjadinya kerusakan pada talus rumput laut K. alvarezii.