Thursday, May 29, 2014

Penyakit Ice-ice dan Serangan Epifit pada Rumput Laut (Etiologi, Anatomi Makro, Anatomi Mikro).


PENDAHULUAN

Rumput laut merupakan salah satu komoditi perikanan yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat, diantaranya Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii) (Fibrianto 2007) karena mudah dibudidayakan dengan infestasi yang relatif kecil dan mempunyai prospek pasar yang baik serta dapat meningkatkan ekonomi masyarakat pantai (Dirjenkanbud 2005). Usaha budidaya rumput laut berpotensi meningkatkan taraf hidup nelayan, tetapi pada musim tertentu budidaya rumput laut mengalami masa yang kurang menguntungkan karena serangan penyakit (Sulu 2003).
Permasalahan utama pada budidaya komersial adalah penyakit yang dikenal sebagai "ice-ice" yang menyebabkan pemutihan jaringan dan fragmentasi talus (Loureiro 2010) serta "serangan epifit" (ganggang merah berfilamen) (Varaippan 2006). Ice-ice merupakan penyakit yang banyak menyerang tanaman rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1974 di Philipina (Dirjenkanbud 1995). Penyakit ice-ice menginfeksi jaringan K. alvarezii selama stres. Biasanya jaringan akan mengalami bleaching dan menjadi nekrosis (Sulu 2003), dengan daya rusak relatif cepat sehingga sangat merugikan bagi pembudidaya, bahkan dapat menyebabkan kebangkrutan usaha (Yulianto 2003). Serangan epifit bukan fenomena baru dalam budidaya rumput laut. Hal ini berlangsung sejak pemeliharaan rumput laut dilakukan dalam skala budidaya. Namun, sedikit yang diketahui dari agen penyebab, modus aksi dan faktor yang menyebabkan wabah (Varaippan 2006).
Awalnya, penyakit ice-ice dianggap sebagai penyakit tidak menular yang bisa dipicu oleh kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti suhu yang ekstrim, radiasi, salinitas, bakteri patogen oportunistik, Vibrio sp. dan Cytophaga sp. Penyakit ice-ice mengarah pada penurunan yang signifikan dalam produksi rumput laut dan penurunan hasil karagenan. Jika dibandingkan dengan tanaman yang sehat berkisar 25 – 40%. Ice-ice juga menyebabkan penurunan terhadap kualitas karagenan, viskositas dan kekuatan gel pada talus yang terinfeksi (Tisera 2009). Di sisi lain, epifit adalah ganggang non parasit berbulu kecil yang menempel pada tanaman inang. Epifit yang tumbuh pada rumput akan menghambat sinar matahari sehingga menggangu proses fotosintesis. Serangan epifit juga berkorelasi dengan kejadian penyakit ice-ice, dimana bagian talus rumput laut yang terserang oleh epifit menjadi rentan terserang bakteri yang menyebabkan terjadinya penyakit ice-ice (Varaippan 2008).
            Untuk lebih rincinya berikut ini akan diuraikan mengenai etiologi, anatomi makro dan anatomi mikro pada rumput laut yang terifeksi oleh penyakit ice-ice serta serangan epifit, sehingga dapat menjadi referensi dalam penelitian yang berkaitan dengan penyakit pada rumput laut khususnya jenis Kappaphycus alvarezii.

PEMBAHASAN
1.  Etiologi
            Penyakit ice-ice pertama kali ditemukan tahun 1974 pada tahap awal budidaya Kappaphycus alvarezii skala ekonomi di Filipina (Largo 1995a). Pemicunya diduga faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti salinitas serta stres (Largo 1995b). Terjadinya penyakit ice-ice bersifat musiman dan berkorelasi dengan perubahan angin monsun serta tingginya populasi bakteri yang ditemukan pada jaringan rumput laut yang terinfeksi ice-ice (Neish 2003). Largo (1995a,b) menunjukkan bahwa faktor abiotik (intensitas cahaya kurang dari 50 mikromol photon m2s, salinitas dibawah 20 ppt, dan suhu diatas 35oC, serta bakteri tertentu mampu menginduksi terjadinya ice-ice pada K. alvarezii yang dibudidayakan di perairan subtropis sebelah selatan Jepang.
            Kasus ice-ice pada budidaya rumput laut dipicu oleh fluktuasi parameter kualitas air yang ekstrim (kadar garam, suhu air, bahan organik terlarut dan intensitas cahaya matahari). Pemicu lain adalah serangan hama seperti ikan baronang, penyu hijau, bulu babi dan bintang laut yang menyebabkan luka pada talus, sehingga mudah terinfeksi oleh mikroorganisme. Pada keadaan stress, rumput laut akan membebaskan substansi organik yang menyebabkan talus berlendir dan merangsang bakteri tumbuh melimpah di sekitarnya. Pertumbuhan bakteri pada talus akan menyebabkan bagian talus menjadi putih dan rapuh. Selanjutnya, mudah patah, dan jaringan menjadi lunak yang menjadi ciri penyakit ice-ice. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara vertikal (dari bibit) atau horizontal melalui perantaraan air [KKP 2010].
            Epiphytic filamentous algae/alga epifit berfilamen (EFA) tercatat sebagai masalah serius sejak awal budidaya K. alvarezii (Varaippan 2006). Vairappan (2008) melaporkan bahwa pecahnya EFA berkorelasi dengan perubahan drastis suhu air laut dan salinitas dari Maret sampai Juni dan September hingga November. Selain fluktuasi suhu dan salinitas, faktor fisik lain seperti level nutrien dan fotoperiod juga berperan penting dalam kelimpahan epifit di suatu areal (Varaippan 2006).

2. Anatomi Makro
2.1 Gejala klinis
            Penyakit ice-ice ditandai dengan timbulnya bintik atau bercak-bercak merah pada bagian talus yang lama kelamaan menjadi pucat dan berangsur-angsur menjadi putih dan akhirnya talus tersebut terputus. Gejala yang terlihat adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang menjadi putih, kemudian cabang talus menjadi putih dan membusuk [KKP 2005].
            Serangan epifit pada K. alvarezii ditandai dengan munculnya bintik-bintik hitam kecil pada permukaan sel kutikula, kemudian menjadi epifit vegetatif  yang terasa kasar bila disentuh. Serangan epifit menyebab rumput laut menjadi rentan terhadap kerusakan talus dan serangan bakteri (Varaippan 2006).

2.2 Diagnose
Diagnosa penyakit pada rumput laut dapat dilakukan secara visual dan mikrobiologis [KKP 2010]. Untuk mendiagnosa penyakit rumput laut, lebih didasarkan pada pengalaman pribadi atau studi pustaka mengenai pertumbuhan dan faktor-faktor biotik yang mempengaruhi perkembangan rumput laut. Diagnosis visual terbatas karena gejala yang sama mungkin timbul dari agen yang berbeda, sebaliknya agen yang sama (terutama jika abiotik) dapat menyebabkan gejala yang berbeda terhadap alga yang berbeda (Largo 2002).
            Hasil penelitian di pulau Pari oleh Darmayanti (2001) yang mengisolasi bakteri dari rumput laut K. alvarezii yang sehat maupun yang terinfeksi ice-ice mendapatkan jenis Aeromonas sp. dan Proteus sp. (golongan Vibrio). Largo (1995a) mendapatkan 10 strain bakteri, namun yang mengindikasikan penyebab penyakit ice-ice hanya 2 strain yaitu Cytophaga sp. P25 (kelompok ­Cytophaga-Flavobacterium) dan Vibrio sp. P11 (kelompok Vibrio-Aeromonas), dengan kepadatan bakteri 10 – 100 kali lebih banyak dibanding kepadatan bakteri pada K. alvarezii yang sehat.
Sedangkan hasil penelitian Varaippan (2006) menemukan epifit berupa algae merah jenis Neosiphonia savatieri (Hariot), sebagai epifit yang dominan menginfeksi rumput laut K. alvarezii (80-85%). Selain dari jenis N. savatieri, juga ditemukan epifit dari jenis Neosiphonia apiculata, Ceramium sp., Acanthophora sp. dan Centroceras sp. Largo (2002) menyebutkan jenis Polysiphonia dan diatom juga berperan sebagai epifit pada K. alvarezii.

2.3 Mekanisme infeksi
            Mekanisme terinfeksinya rumput laut oleh bakteri penyebab penyakit ice-ice dijelaskan oleh Largo (1999), dimana bakteri vibrio menempel pada talus rumput laut yang stress, selanjutnya berkembang biak pada dinding sel dengan memanfaatkan polisakarida (karagenan) sebagai media atau sumber karbonnya. Setelah 2 – 3 hari, vibrio masuk ke dalam jaringan sampai lapisan medual dengan cara menghidrolisa enzim karagenan yang mengakibatkan warna talus menjadi pucat/putih, jaringannya lembek serta talus mudah putus (Weinberger 2007).
            Epifit menyerang rumput laut dengan cara melekatkan diri pada basal menggunakan rhizoid primer atau rhizoid sekunder. Hasil penelitian Varaippan (2006) menunjukkan bahwa epifit jenis N. savatieri melekat menggunakan rhizoid yang mempunyai 2-4 cabang. Cabang horisontal yang melebihi 8-10 mm terlihat melekat pada rumput laut pada daerah yang berbeda melalui rhizoid sekunder. Epifit tersebut menyebabkan lesi ringan atau retak pada titik di mana epifit menginfeksi rumput laut.

3. Anatomi Mikro
            Studi histologis yang dilakukan pada jaringan rumput laut ditemukan bahwa rhizoid dari epifit mampu untuk menembus ke dalam lapisan sel korteks rumput laut.
            Untuk rumput laut yang terserang ice-ice, pendekatan dilakukan dengan menguji rumput laut jenis Gracilaria gracilis yang terserang penyakit (bleaching) dimana ciri-cirinya serupa dengan yang kejadian ice-ice pada K. alvarezii. Pada rumput laut G. gracilis ini dilakukan uji dengan menyuntikkan SSW (sterile seawater) sebagai kontrol, P. gracilis B9 yang diisolasi dari permukaan G. gracilis dan AagA untuk membuktikan bahwa penyakit rontok akibat bleaching pada G. gracilis disebabkan oleh infeksi bakteri. Hasilnya menunjukkan bahwa sampel rumput laut yang disuntikkan dengan P. gracilis B9 dan AagA terjadi gangguan fibriliar komponen dari dinding sel dan mengalami bleaching. Selain itu pengujian dengan menggunakan P. gracilis B9 pada kondisi lingkungan tertentu juga menyebabkan adanya bleaching.

KESIMPULAN
           Penyakit pada rumput laut Kappaphycus alvarezii baik yang disebabkan oleh bakteri (penyakit ice-ice) maupun yang disebabkan oleh serangan epifit, seluruhnya dipengaruhi oleh perubahan lingkungan (salinitas dan suhu) serta nutrien. Kedua penyakit tersebut saling berkorelasi, dimana serangan epifit ikut berperan dalam terjadinya penyakit ice-ice. Selain itu serangan kedua jenis penyakit tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan pada talus rumput laut K. alvarezii.

DESTILASI (DISTILASI)

Sejarah Destilasi
Destilasi pertama kali ditemukan oleh kimiawan Yunani sekitar abad pertama masehi yang akhirnya perkembangannya dipicu terutama oleh tingginya permintaan akan spritus. Hypathia dari Alexandria dipercaya telah menemukan rangkaian alat untuk destilasi dan Zosimus dari Alexandria-lah yang telah berhasil menggambarkan secara akurat tentang proses destilasi pada sekitar abad ke-4 Bentuk modern destilasi pertama kali ditemukan oleh ahli-ahli kimia Islam pada masa kekhalifahan Abbasiah, terutama oleh Al-Razi pada pemisahan alkohol menjadi senyawa yang relatif murni melalui alat alembik, bahkan desain ini menjadi semacam inspirasi yang memungkinkan rancangan destilasi skala mikro, The Hickman Stillhead dapat terwujud. Tulisan oleh Jabir Ibnu Hayyan (721-815) yang lebih dikenal dengan Ibnu Jabir menyebutkan tentang uap anggur yang dapat terbakar, ia juga telah menemukan banyak peralatan dan proses kimia yang bahkan masih banyak dipakai sampai saat kini. Kemudian teknik penyulingan diuraikan dengan jelas oleh Al-Kindi (801-873) (Risyanti 2009).

Defenisi Destilasi
Destilasi merupakan salah satu jenis proses pemisahan. Destilasi didefinisikan sebagai suatu proses dimana campuran cairan atau uap dari dua atau lebih zat dipisahkan menjadi fraksi komponen murni yang diinginkan dengan aplikasi dan penghilangan panas. Selain itu, proses ekstraksi dapat mengakomodasi perubahan dalam tingkat aliran dan pelarut dapat digunakan kembali dan didaur ulang untuk dapat digunakan kembali. Destilasi menawarkan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal kondisi operasi karena jenis, jumlah pelarut dan temperatur operasinya dapat divariasikan (Aizam bin Ibrahim 2006).

Pada distilasi, sebagian cairan diuapkan untuk menghasilkan zat dalam fase lain yaitu uap. Pemisahan komponen-komponen cairan bergantung pada tekanan uap relatif dari zat. Dalam distilasi juga, suhu yang berbeda pada setiap tahap mengubah keseimbangan fasa uap antar campuran biner biasanya. Keinginan untuk memperoleh keseimbangan baru antara dua fase pada temperatur setiap tahap merupakan hal paling penting dalam proses pemisahan. Hasil akhirnya adalah pemisahan dari dua cairan dengan suhu didih yang berbeda (Aizam bin Ibrahim 2006).

Di sisi lain, salah satu kelemahan proses ini adalah pelarut harus dipulihkan terlebih dahulu untuk dapat digunakan kembali (biasanya dengan distilasi) dan operasi gabungannya kadang lebih rumit dan malah lebih mahal dibanding distilasi biasa tanpa ekstraksi (McCabe et al. 2001).

Pembagian Destilasi
Destilasi berdasarkan prosesnya terbagi menjadi dua, yaitu destilasi kontinu dan destilasi batch. Berdasarkan basis tekanan operasinya terbagi menjadi tiga, yaitu destilasi atmosferis, destilasi vakum dan destilasi tekanan. Berdasarkan komponen penyusunnya terbagi menjadi dua, yaitu destilasi system biner dan destilasi sistem multi komponen. Berdasarkan system operasinya terbagi menjadi dua, yaitu single-stage distillation dan multi stage distillation (Kartika 2009).

Selain pembagian macam destilasi, dalam referensi lain menyebutkan macam-macam destilasi, yaitu :
1. Destilasi sederhana
2. Destilasi bertingkat ( fraksional )
3. Destilasi azeotrop
4. Destilasi vakum
5. Refluks/destruksi
6. Destilasi kering (Kartika 2009)

Aplikasi Destilasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Salah satu penerapan terpenting dari metode destilasi adalah pemisahan minyak mentah menjadi bagian-bagian untuk penggunaan khusus seperti untuk transportasi, pembangkit listrik, pemanas, dan lainnya. Udara didestilasi menjadi komponen-komponen seperti oksigen untuk penggunaan medis dan helium untuk pengisi balon. Destilasi juga telah digunakan sejak lama untuk pemekatan alkohol dengan penerapan panas terhadap larutan hasil fermentasi untuk menghasilkan minuman suling (Darmadji 2002).

Destilasi sederhana
Destilasi sederhana atau destilasi biasa adalah teknik pemisahan kimia untuk memisahkan dua atau lebih komponen yang memiliki perbedaan titik didih yang jauh. Suatu campuran dapat dipisahkan dengan destilasi biasa ini untuk memperoleh senyawa murninya. Senyawa-senyawa yang terdapat dalam campuran akan menguap pada saat mencapai titik didih masing-masing. Destilasi sederhana digunakan untuk pemurnian senyawa yang biasanya telah diekstraksi. Misalnya ekstraksi padat-cair dan pada sintesis kloroform (Darmadji 2002).
      
Alat destilasi atau yang disebut destilator terdiri dari thermometer, labu didih, steel head, pemanas, kondensor, dan labu penampung destilat. Thermometer Biasanya digunakan untuk mengukur suhu uap zat cair yang didestilasi selama proses destilasi berlangsung. Seringnya termometer yang digunakan harus memenuhi syarat:
a)     Berskala suhu tinggi yang diatas titik didih zat cair yang akan didestilasi.
b)    Ditempatkan pada labu destilasi atau steel head dengan ujung atas reservoir HE sejajar dengan pipa penyalur uap ke kondensor. Labu didih berfungsi sebagai tempat suatu campuran zat cair yang akan didestilasi (Darmadji 2002).

Steel head berfungsi sebagai penyalur uap atau gas yang akan masuk ke alat pendingin (kondensor) dan biasanya labu destilasi dengan leher yang berfungsi sebagai steel head. Kondensor memiliki 2 celah, yaitu celah masuk dan celah keluar yang berfungsi untuk aliran uap hasil reaksi dan untuk aliran air keran. Pendingin yang digunakan biasanya adalah air yang dialirkan dari dasar pipa, tujuannya adalah agar bagian dari dalam pipa lebih lama mengalami kontak dengan air sehingga pendinginan lebih sempurna dan hasil yang diperoleh lebih sempurna. Penampung destilat bisa berupa erlenmeyer, labu, ataupun tabung reaksi tergantung pemakaiannya. Pemanasnya juga dapat menggunakan penangas, ataupun mantel listrik yang biasanya sudah terpasang pada destilator (Darmadji 2002).

Pemisahan senyawa dengan destilasi bergantung pada perbedaan tekanan uap senyawa dalam campuran. Tekanan uap campuran diukur sebagai kecenderungan molekul dalam permukaan cairan untuk berubah menjadi uap. Jika suhu dinaikkan, tekanan uap cairan akan naik sampai tekanan uap cairan sama dengan tekanan uap atmosfer. Pada keadaan itu cairan akan mendidih. Suhu pada saat tekanan uap cairan sama dengan tekanan uap atmosfer disebut titik didih. Cairan yang mempunyai tekanan uap yang lebih tinggi pada suhu kamar akan mempunyai titik didih lebih rendah daripada cairan yang tekanan uapnya rendah pada suhu kamar (Darmadji 2002).

Jika campuran berair didihkan, komposisi uap  di atas cairan tidak sama dengan komposisi pada cairan. Uap akan kaya dengan senyawa yang lebih volatile atau komponen dengan titik didih lebih rendah. Jika uap di atas cairan terkumpul dan dinginkan, uap akan terembunkan dan komposisinya sama dengan komposisi senyawa yang terdapat pada uap yaitu dengan senyawa yang mempunyai titik didih lebih rendah. Jika suhu relative tetap, maka destilat yang terkumpul akan mengandung senyawa murni dari salah satu komponen dalam campuran (Darmadji 2002).

Distilasi uap
Destilasi uap merupakan salah satu proses pemisahan yang digunakan teori ekstraksi padat-cair. Bahan cair akan digunakan untuk mengekstrak padatan. Ini berarti bahwa minyak esensial dapat dihilangkan dari bahan bakunya (Aizam bin Ibrahim 2006).

Ekstraktor untuk proses ini memiliki tiga bagian utama. Pertama, uap akan dipasok ke vessel. Uap akan dihubungkan dengan bahan baku dan minyak esensial dipaksa keluar dari bahan baku. Kedua, kondensor yang akan digunakan untuk mengubah campuran uap menjadi dua lapisan yang terpisah yaitu lapisan air dan minyak esensial. Kedua campuran ini dapat dipisahkan karena berbeda dalam hal kepadatan. Pada akhirnya, campuran air dan minyak esensial akan dikumpulkan kembali dalam vessel (Aizam bin Ibrahim 2006).

Distilasi uap yang paling sering digunakan untuk memproduksi berbagai jenis minyak esensial dari jahe. Proses ini lebih murah dibanding proses ekstraksi lainnya. Proses ini tidak menggunakan pelarut dan dapat lebih aman daripada proses lainnya (Ibrahim bin Aizan 2006).

Kolom Distilasi Uap Skala Laboratorium
Set up proses distilasi uap divisualisasikan seperti pada Gambar 1 (a). Kolom distilasi dengan 10 liter air memiliki packed bed yang berisi botani di bagian atas. Air dipanaskan oleh pemanas celup yang akan menghasilkan uap yang melewati bahan botani. Panas dari karung kecil uap pasukan tanaman minyak untuk melepaskan minyak esensial mereka diawetkan. Kemudian, uap bekerja sebagai media transportasi bagi esensi partikel untuk menguap dan terkondensasi. Akhirnya, hasil ini dalam bentuk lapisan minyak esensial dan hydrosol (campuran minyak diekstrak dan air) (Kasuan 2010).

Pada kolom distilasi, air dipertahankan pada tingkat safety. Ada baris air isi ulang yang diperbolehkan dalam aliran air yang menguap untuk mengkompensasi air dalam kolom (Rahiman 2008).

Pengolahan Minyak Bumi dengan Destilasi Bertingkat
Minyak mentah yang telah melalui proses desalting (proses penghilangan garam yang dilakukan dengan cara mencampurkan minyak mentah dengan air, tujuannya adalah untuk melarutkan zat-zat mineral yang larut dalam air) kemudian diolah lebih lanjut dengan proses distilasi bertingkat, yaitu cara pemisahan campuran berdasar perbedaan titik didih. Fraksi-fraksi yang diperoleh dari proses distilasi bertingkat ini adalah campuran hidrokarbon yang mendidih pada interval (range) suhu tertentu. Fasa uap dan cairan dijaga agar selalu kontak satu sama lain, sehingga pengembunan dan penyulingan berlangsung menyeluruh sepanjang kolom (PPIPTEK-KIK Kimia 2011).

SOKLETASI (Ekstraksi Soxhlet)

Sokletasi atau Ekstraksi Soxhlet adalah metode ekstraksi untuk bahan yang tahan pemanasan dengan cara meletakkan bahan yang akan diekstraksi dalam sebuah kantung ekstraksi (kertas saring) di dalam sebuah alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinu (Voigt 1995).

Ekstraktor Soxhlet merupakan peralatan laboratorium yang ditemukan pada tahun 1879 oleh Franz von Soxhlet. Ekstraktor ini awalnya hanya dirancang untuk mengekstraksi lipid dari bahan padat. Namun, penggunaan ekstraktor Soxhlet tidak terbatas pada ekstraksi lipid. Biasanya, ekstraksi Soxhlet hanya diperlukan di mana senyawa yang diinginkan memiliki kelarutan terbatas dalam suatu pelarut, dan pengotornya tidak larut dalam pelarut. Jika senyawa yang diinginkan memiliki kelarutan yang signifikan dalam pelarut maka filtrasi sederhana dapat digunakan untuk memisahkan senyawa dari substansi larut.

Ekstraksi Soxhlet hanya diperlukan jika senyawa yang diinginkan memiliki kelarutan terbatas dalam suatu pelarut dan pengotor yang tidak larut dalam pelarut. Jika senyawa yang diinginkan memiliki kelarutan yang tinggi dalam pelarut maka filtrasi sederhana dapat digunakan untuk memisahkan senyawa dari substansi yang larut. Keuntungan dari sistem ini adalah bahwa bukan bagian yang banyak pelarut yang hangat melewati sampel, hanya satu batch pelarut didaur ulang. Metode ini tidak dapat digunakan untuk senyawa termolabil sebagai pemanasan berkepanjangan dapat menyebabkan degradasi senyawa (Nikhal 2010).

Prinsip dan Mekanisme
Teknik klasik untuk ekstraksi pelarut Nutraceuticals dari matriks tanaman didasarkan pada pilihan pelarut yang ditambah dengan penggunaan panas dan/atau agitasi. Teknik klasik yang ada digunakan untuk memperoleh Nutraceuticals dari tanaman meliputi: Soxhlet, hydrostillation dan maserasi dengan campuran alkohol-air atau lemak panas.

Soxhlet telah digunakan selama ini merupakan teknik standar dan acuan utama untuk mengevaluasi kinerja metode ekstraksi padat-cair (atau pencucian) lainnya. Ekstraksi Soxhlet merupakan teknik ekstraksi yang umum digunakan dan mapan, yang melampaui kinerja teknik ekstraksi konvensional lainnya kecuali di bidang aplikasi terbatas, ekstraksi senyawa termolabil (Luque de Castro 1998).

Masalah Praktis ekstraksi Soxhlet

a.  Pemilihan Pelarut
Pelarut ekstraksi yang cocok harus dipilih untuk mengekstraksi Nutraceuticals yang ditargetkan menggunakan metode ekstraksi Soxhlet. Pelarut yang berbeda akan menghasilkan ekstrak dan komposisi ekstrak yang berbeda (Zarnowski & Suzuki 2004). Pelarut yang paling banyak digunakan untuk mengekstrak minyak nabati dari sumber tanaman adalah heksana. Heksana memiliki rentang titik didih yang cukup sempit sekitar 63-69oC dan merupakan pelarut minyak yang sangat baik dalam hal kelarutan minyak dan mudah dipulihkan (Mamidipally 2004).

Penggunaan pelarut alternatif seperti isopropanol, etanol, hidrokarbon, dan bahkan air, telah ditingkatkan karena masalah lingkungan, kesehatan dan keamanan. Namun, pelarut alternatif kurang dapat dipulihkan dengan baik karena afinitas molekul menurun antara pelarut dan zat terlarut. Biaya pelarut alternatif bisanya lebih tinggi. Co-solvent kadang-kadang ditambahkan untuk meningkatkan polaritas fase cair. Campuran pelarut seperti isopropanol dan heksana telah dilaporkan dapat meningkatkan hasil dan kinetika ekstraksi (Li 2004).

b.  Karakteristik Matriks
Ekstraksi Soxhlet sangat bergantung pada karakteristik matriks dan ukuran partikel sebagai difusi internal yang dapat menjadi langkah yang membatasi selama ekstraksi. Untuk ekstraksi total lemak dari biji berminyak, ekstraksi 2-jam diperoleh efisiensi ekstraksi 99% jika ukuran partikelnya 0,4 mm, sedangkan ekstraksi 12-jam yang diperlukan untuk memperoleh efisiensi yang sama jika ukuran partikel adalah 2,0 mm (Luque-Garcia 2004).

c.  Kondisi Operasi
Selama ekstraksi Soxhlet, pelarut biasanya dipulihkan dengan cara diuapkan. Suhu ekstraksi dan evaporasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas produk akhir. Mamidipally (2004) menemukan bahwa minyak dedak padi yang diekstraksi dengan d-limonene sedikit lebih gelap dibandingkan jika diekstrak dengan heksana, mungkin karena temperatur ekstraksi dan penguapan yang lebih tinggi selama ekstraksi ketika digunakan pelarut d-limonene. Suhu didih tinggi untuk pemulihan pelarut dapat dikurangi dengan menggunakan vakum atau membran pemisahan untuk memulihkan pelarut.

Ekstraksi Soxhlet (EPA Metode 3540C)
Ahli kimia analitik telah menggunakan ekstraksi Soxhlet selama lebih dari 100 tahun. Metode ini merupakan pendekatan klasik untuk mengekstraksi sampel padat untuk spektrum senyawa organik dan non-semivolatile. Ia bekerja dengan cara yang analog dengan terus menerus ekstraksi cair-cair, kecuali sampel padat bukan cair. Sampel, diletakkan dalam sebuah bidal selulosa berpori, terus menerus diekstraksi dengan pelarut alikuot segar suling dan kental. Jadi, ekstraksi dilakukan pada suhu di bawah titik didih pelarut itu. Dalam prakteknya, metode ini sangat sederhana. Teknik ini memakan waktu tetapi bisa otomatis, dan memiliki biaya akuisisi rendah. Biasanya, langkah ekstraksi membutuhkan 16-24 jam pada 4-6 siklus/h (Arment 1999).

Ekstraksi Soxhlet Otomatis (EPAMethod 3541)
Teknik ini merupakan versi otomatis dari pendekatan klasik untuk pengembangan Soxhlet sampel padat, dengan dua modifikasi. Pendekatan ini awalnya menenggelamkan bidal yang berisi sampel secara langsung ke dalam pelarut yang mendidih. Kemudian, bidal tersebut akan dipindahkan di atas pelarut untuk meniru langkah rinse-ekstraksi ekstraksi Soxhlet. Akhirnya, tahap konsentrasi menggunakan peralatan otomatis yang modern mengurangi volume akhir menjadi 1-2 mL. Tiga tahap pendekatan ini memperpendek langkah ekstraksi selama 2 jam, karena memberikan kontak langsung antara sampel dan pelarut pada titik didih pelarut itu. Hal ini juga mengurangi konsumsi pelarut (Arment 1999).

Keuntungan dan Kerugian Ekstraksi Soxhlet
Keuntungan ekstraksi Soxhlet konvensional meliputi (1) perpindahan keseimbangan transfer dengan berulang kali membawa pelarut segar kontak langsung dengan matriks padat (2) mempertahankan suhu ekstraksi yang relatif tinggi dengan panas dari termos distilasi, dan (3) tidak ada persyaratan filtrasi setelah pelepasan. Juga, metode Soxhlet sangat sederhana dan murah (Luque de Castro 1998). 

Kelemahan utama dari ekstraksi Soxhlet konvensional meliputi (1) waktu ekstraksi yang panjang; (2) menggunakan pelarut dalam jumlah banyak, (3) agitasi tidak dapat disediakan dalam perangkat Soxhlet untuk mempercepat proses; (4) besar jumlah pelarut yang digunakan membutuhkan prosedur penguapan/konsentrasi, dan (5) kemungkinan dekomposisi termal senyawa target tidak dapat diabaikan sebagai ekstraksi biasanya terjadi pada titik didih pelarut untuk waktu yang lama. Ekstraksi yang memakan waktu lama dan penggunaan pelarut dalam jumlah besar merupakan kelemahan metode ekstraksi Soxhlet konvensional (Luque de Castro 1998).